MAKALAH PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG NIKAH HAMIL
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan sebagai bentuk sakral
suami istri dalam hidup suatu rumah tangga yang menciptakan kehidupan yang sakinah,
mawaddah wa rahmah. Selain itu membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup
berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Kehidupan
dan peradaban manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya kesenambungan
perkawinan dari setiap generasi manusia.
Bagi seorang gadis tentu tidak akan
hamil tanpa didahului dengan perkawinan yang dengan seorang laki-laki. Namun
yang menjadi persoalan ketika terjadi kecelakaan atau seorang wanita hamil yang
terjadi di luar perkawinan yang sah. Ini bisa dikatakan sebagai perzinaan yang
di dalam nash telah jelas keharamannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang
perkawinan yang terjadi terhadap wanita yang sedang hamil akibat zina. Dan juga
status anak dalam perkawinan. Tentu yang menjadi pertanyaan tentang persoalan
ini menyangkut kebolehan atau keharaman terjadinya perkawinan terhadap wanita
yang hamil di luar nikah menurut syariat Islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan kawin hamil?
2. Bagaimana
hukum tentang kawin hamil?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan kawin hamil.
2. Untuk
mengetahui hukum tentang kawin hamil.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kawin Hamil
Kawin hamil adalah kawin dengan seorang yang hamil di luar nikah,
baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang
bukan menghamilinya.[1]
Wanita yang bercampur dengan seorang laki-laki itu ada yang hamil
dan ada yang tidak. Tentang wanita hamil ini, sebagian dari ulama berkata tidak
halal dikawinkan dia, walaupun kepada laki-laki yang menghamili dia lantaran
wanita yang hamil, tidak boleh dikawinkan, melainkan sesudah ia melahirkan.[2]
B.
Hukum
kawin dengan wanita hamil
Hukum perkawinan yang berlaku di negara kita
menyebutkan bahwa seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut dapat dilakukan tanpa harus
menunggu kelahiran anak, dan perkawinan ini telah sah dan tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir (KHI,pasal 53)[3]
Hukum kawin dengan wanita hamil di luar nikah pada ulama berbeda
pendapat, sebagai berikut:
1.
Ulama
empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa
perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan
ketentuan bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru mengawininya.
2.
Ibnu
Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh
pula bercampur, dengan ketentuan bila telah bertaubat dan menjalani hukuman
dera (cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum
yang telah pernah diterapkan oleh sahabat Nabi, antara lain:
a.
Ketika
Jabir bin Abdilah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah
berzina, berkata : “boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat dan
memperbaiki sifat-sifatnya”.
b.
Seorang
laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya
Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar
keduanya dikawinkan. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain
untuk melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkan.[4]
Hukum
kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat
antara ulama:
1.
Imam
Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan
perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat beliau didasarkan firman Allah:
الزَّانِي لا
يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik. dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang beriman. (Q.S. An-Nur:
3).
Maksud ayat tersebut adalah tidak pantas seorang pria yang beriman
kawin dengan seorang wanita yang berzina. Demikian sebaliknya, wanita yang
beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.
Ibnu
Qatadah sependapat dengan imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria
tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang
lain, kecuali dengan dua syarat:
a.
Wanita
tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil tidak boleh
kawin.
b.
Wanita
tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah dia hamil atau tidak.
2.
Imam
Muhammad bin Al-Hasan Al- Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah,
tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini
berdasarkan hadist:
لا تؤ طاء حاملا حتى تضع
Janganlah engkau mencampuri wanita yang hamil,
sehingga lahir (kandungannya)
3. Imam
malik berpendapat bahwa salah satu syarat dari sahnya pernikahan adalah
“kosongnya rahim calon istri dari janin”. Karena itu, imam ini menetapkan bahwa
pernikahan seorang perempuan yang sedang hamil ini tidak sah, walau yang
menikahinya adalah lelaki yang membuahinya. Mereka baru boleh dikawinkan
setelah perempuan itu melahirkan, kalau tidak, maka keadaan mereka berdua sama
dengan pezina. Sahabat Nabi saw. Ibnu Mas’ud ra. berkata: “siapa yang
menzinai seorang perempuan, lalu mereka menikah, maka mereka berdua terus
menerua adalah pezina”. Bahkan sementara ulama mensyaratkan disamping
setelah melahirkan, juga mereka berdua harus menyesali perbuatannya dan
bertaubat.[5]
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina, tidak diperbolehkan untuk
menikah bila masa iddahnya belum selesai meskipun dengan laki-laki yang
menghamilinya. Apalagi jika laki-laki itu orang lain yang bukan menghamilinya. Dapat
dikatakan bahwa ulama Malikiyah memperbolehkan wanita yang hamil untuk menikah
asalkan wanita yang hamil akibat berzina tersebut telah selesai masa iddahnya.
Bagi wanita merdeka yang hamil, wanita tersebut wajib istibra’ yaitu masa
menunggu kosongnya rahim dari kehamilan, dengan kata lain, iddah perempuan
merdeka yang hamil akibat zina adalah sampai melahirkan kandungannya.[6]
4.
Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah,
karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah).
Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang
dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan
keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak diluar nikah).[7]
Namun dimakruhkan saja jika mensetubuhi perempuan yang sedang hamil, sebelum
bersalin.[8]
Ulama Hanafiyah
berpendapat tentang kebolehan menikahi wanita hamil berdasarkan QS An Nisaa’
ayat 22-23 tersebut karena di dalam surat tersebut, tidak termasuk golongan
wanita yang haram untuk dinikahi. Abu Hanafiah dan Muhammad berpendapat bahwa
hukum akad nikah wanita hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya tetap
sah.[9]
Perlu
dicatat bahwa perkawinan mereka, kendati dalam pandangan diatas sah, tetapi ia
tidak menggugurkan dosa mereka, bahkan boleh jadi anak yang dikandungnya secara
psikologis memperoleh dampak buruk perzinaan orangtuanya, karena
kedurhakaan,kondisi fisik, dan kejiwaan ibu bapak saat pembuahan dapat
mempengaruhi janin.[10]
BAB
III
PENUTUP
Kawin hamil adalah kawin dengan seorang yang hamil di luar nikah,
baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang
bukan menghamilinya
Hukum
kawin dengan wanita yang hamil menurut pendapat mazhab maliki bahwa
salah satu syarat dari sahnya pernikahan adalah “kosongnya rahim calon istri
dari janin”. Karena itu, imam ini menetapkan bahwa pernikahan seorang perempuan
yang sedang hamil ini tidak sah, walau yang menikahinya adalah lelaki yang
membuahinya. Menurut mazhab hanafi dan syafi’i berpendapat
bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan
orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena
tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma
suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya
itu (anak diluar nikah). Namun dimakruhkan saja jika mensetubuhi perempuan yang
sedang hamil, sebelum bersalin.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abd Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2006
JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 17 JANUARI
2010:
143-168
Hassan,
dkk, SOAL-JAWAB TENTANG BERBAGAI MASALAH
AGAMA, Bandung; CV. Diponegoro, 1999
Hasbi
Ash-Shissieqey, Muhammad. Hukum-Hukum Fiqih Islam Yang Berkembang Dalam
Kalangan Ahlus Sunnah. Jakarta : Bulan Bintang.
Saifullah, Muhammad dkk, Hukum Islam
Solusi Permasalahan Keluarga, Yogyakarta; UII Press.
Shihab,
Quraish, M.Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda
Ketahui, Tangerang; Penerbit Lentera Hati, 2011.
[2] Hassan,
dkk, SOAL-JAWAB TENTANG BERBAGAI MASALAH
AGAMA, Cet-11, (Bandung; CV. Diponegoro, 1999), hlm. 1058.
[3] Muhammad
Saifullah dkk, Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga, (Yogyakarta; UII Press), hlm.
38
[5] Quraish
Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda
Ketahui, (Tangerang; Penerbit Lentera Hati,
2011), hlm.73-74.
[6] JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 17
JANUARI 2010: 143-168,
hlm. 150. (diunduh pada tanggal 30 April 2016 pukul 15.52.
[8] Muhammad Hasbi Ash-Shissieqey. Hukum-Hukum Fiqih Islam Yang
Berkembang Dalam Kalangan Ahlus Sunnah. (Jakarta : Bulan Bintang). Hlm.
284.
[9] JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 17 JANUARI 2010: 143-168, hlm. 148. (diunduh pada tanggal
30 April 2016 pukul 15.52.
Komentar
Posting Komentar