MAKALAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

KEBIJAKAN PENDIDIKAN PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang  Masalah
Masalah Sebelum Islam datang ke Indonesia dalam abad XIII, maka telah terjelma kerajaan-kerajaan yang susunan pemerintahannya, corak masyarakatnya, alam pikirannya banyak di pengaruhi Hinduisme dan Budhisme. Kerajaan-kerajaan itu, terdapat di selat Malaka, di Sumatera Utara, di Kalimantan Utara dan Timur. Mereka memiliki susunan ekonomi yang tergantung pada perdagangan laut.
Setelah masa kerajaan Islam di Indonesia telah berakhir dengan dimulainya masa kolonial belanda, eksistensi pendidikan Islam di Indonesia tetap terus tumbuh dan sudah berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan Islam diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam dengan cirri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari apa yang diilustrasikan pada kebijakan-kebjakan pemerintah kolonial Belanda yang telah menjajah bangsa Indonesia selama berabad-abad. Oleh karena itu periodisasi sejarah pedidikan Islam dibagi dalam dua garis besar, yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode sesudah kemerdekaan.
Dari uraian yang dikemukakan di atas, untuk melihat lebih jauh berkenaan dengan situasi pola dan kebijakan pendidikan Islam di masa awal berkembangnya Islam di nusantara,eksistensi pola pendidikan pada era penjajahan (sebelum proklamasi), kemudian peran organisasi keagamaan pada pendidikan Islam pada era penjajahan, serta pola dan kebijakan perkembangan pendidikan pasca kemerdekaan (sampai sekarang).

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Pendidikan Islam di masa kolonialisme Belanda?
2.    Bagaimana Kebijakan kolonialisme belanda terhadap pendidikan Islam?

C.     Tujuan
1.    Untuk mengetahui Pendidikan Islam di masa kolonialisme Belanda.
2.    Untuk mengetahui Kebijakan kolonialisme belanda terhadap pendidikan Islam.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Islam di masa kolonialisme Belanda
Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 yaitu ketika Jan Pieter Coen menduduki Jakarta.[1] Kemudian Belanda satu demi satu memperluas jajahannya ke berbagai daerah dan diakui bahwa Belanda datang ke Indonesia bermotif ekonomi, politik dan agama. Tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Selanjutnya pada tahun 1932 M keluar peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberi pelajaran yang tidak disukai penjajah.[2] Tekanan yang diberikan pihak penjajah justru tidak dihiraukan terbukti dalam sejarah masyarakat muslim Indonesia pada saat itu organisasi Islam laksana air hujan yang sulit dibendung.
Kedatangan bangsa barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan. Mereka memperkenalkan system dan metode baru tetapi sekedar untuk mengasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sembut pembaruan pendidikan itu adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Barat di Indonesia selama 3.5 Abad.[3] Sejak dari zaman VOC (Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia.
Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagia berikut :
”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.[4] Ketika Van den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Dan di tiap daerah Keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen. Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut : ”Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara”.[5]
Pendidikan Islam di Indonesia pada masa penjajahan menurun kualitasnya dibandingkan masa sebelumnya (Kerajaan Islam) Belanda sebagai penjajah pada masa itu tidak memperdulikan perkembangan pendidikan di Indonesia terutama Islam karena Belanda sendiri menganut agama nashroni dan bahkan Belanda cenderung menghalangi pendidikan Islam di Indonesia. Ini sangat wajar karena, kolonial Belanda tidak akan bertahan lama, apabila agama Islam dibiarkan tumbuh dan berkembang. Sebab Islam adalah agama yang membenci segala bentuk penindasan dan penjajahan. Untuk menghadapi masalah tersebut pemerintah kolonial Belanda sangat berterima kasih kepada Christian Snouck Hurgronje (1889) yang secara sungguh-sungguh mendalami Islam. Salah satu nasehatnya kepada pemerintah Belanda ialah “Pengaruh Islam tidak mungkin dihambat tetapi perlu dibatasi pengaruhnya. Berikan umat Islam kebebasan melaksanakan ibadah agama mereka, tetapi pendidikan harus diawasi”.[6]
Pada masa penjajahan Belanda, bangsa Indonesia berhasil dijadikan bangsa yang sangat lemah dalam segala sektor kehidupan. Penduduk yang berpendidikan jumlahnya sangat sedikit. Pendidikan hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu. Penduduk pribumi umumnya tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang layak.

B.     Kebijakan kolonialisme belanda terhadap pendidikan Islam
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Bagi pemerintahan penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat pedagogis cultural tetapi juga psikologis politis. Pandangan ini pada satu fihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi dipihak lain, pandangan diatas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah.
Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah penjajah Belanda. Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan di bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 Snouck Hurgronje telah begitu optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. Agama ini dinilai sebagai beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi. Agaknya ramalan tersebut belum memperhitungkan faktor kemampuan Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini, juga belum memperhitungkan faktor kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang cukup alasan agaknya untuk merasa optimis. Kondisi obyektif pendidikan Islam pada waktu itu memang sedemikian rupa, sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak akan sanggup melawan pendidikan Kristen yang jauh lebih maju dalam segala bidang, dan tidak akan bisa berhadapan dengan sikap diskriminatif pemerintah penjajah. Tetapi ternyata kemudian kondisi agama ini berkembang menjadi berbeda dengan perhitungan dan ramalan tersebut. Kesadaran bahwa pemerintahan penjajah merupakan “pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam di benak para santri.[7] Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagai uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda.
Sikap konfrontasi kaum santri dengan pemerintah penjajah ini, terlihat pula pada letak pesantren di Jawa pada waktu itu, yang pada umumnya tidak terletak di tengah kota atau desa, tapi di pinggir atau bahkan di luar keduanya.
Ada dua ciri khas pendidikan Islam di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Pertama, adalah dikotomis yaitu suatu keadaan/sikap saling bertentangan. Kedua, adalah diskriminatif dimana setiap guru agama Islam harus meminta izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama yang pada akhirnya mendapat reaksi keras dari umat Islam.
1.      Dikotomis.
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pertentangan antara pendidikan Belanda (HIS, MULO, AMS, dan lain-lain), dengan pendidikan Islam (Pesantren, dayah, surau). Pertentangan ini dapat dilihat dari sudut ilmu yang dikembangkan. Di sekolah-sekolah Belanda dikembangkan ilmu-ilmu umum (ilmu-ilmu sekuler). Pemerintah penjajah Belanda tidak mengajarkan pendidikan agama sama sekali di sekolah-sekolah yang mereka asuh.
Pemerintah Hindia Belanda mempunyai sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, ini dinyatakan dalam Pasal 179 (2) I.S (Indishe Staatsregeling) dan dalam berbagai ordonansi. Singkatnya dinyatakan sebagai berikut: Pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Pengajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam sekolah. Upaya-upaya untuk memasukan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum telah beberapa kali diusulkan lewat Volksraad, tetapi tetap ditolak oleh pemerintah Belanda. Dan hal ini berlangsung sampai akhir pemerintahan Belanda di Indonesia.
Sedangkan di lembaga pendidikan Islam dalam hal ini di pesantren, pendidikan yang diberikan adalah pendidikan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Dengan demikian suasana pendidikan dikotomis itu amat kentara di zaman penjajahan Belanda. Berkaitan dengan itu kedua lembaga pendidikan ini (sekolah dan pesantren) memiliki filosofi yang berbeda yang sekaligus melahirkan output yang memiliki orientasi yang berbeda pula. Pada waktu itu perbedaan yang tajam antara ilmu agama dan ilmu umum menyebabkan munculnya sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama pada fase terakhir abad ke-19, serta dilanjutkan dan diperkuat pada abad ke-20.
2.      Diskriminatif
Pemerintah Belanda memberikan perlakuan diskriminatif terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Diantara pelaksanaan diskriminatif diberlakukan ordonansi guru pada tahun 1905. Ordonansi itu adalah mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama. Ordonansi ini dirasakan oleh para guru agama sangat berat, terlebih-lebih bagi guru agama yang belum memiliki administrasi sekolah. Selain itu dampak negative yang dihasilkan dari ordonansi ini adalah dapat digunakan untuk menekan Islam yang dikuatkan dengan alas an stabilitas keamanan.
Perkembangan berikutnya adalah pada tahun 1905 tersebut akhirnya dicabut, karena dianggap tidak relevan lagi, dan diganti dengan ordonansi tahun 1925, yang isinya hanya mewajibkan guru-guru agama untuk memberitahu bukan meminta izin. Selain Ordonansi Guru pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari pemerintah. Laporanlaporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolahpun harus diberikan secara berkala. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan dikalangan masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum tertata, Ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat. Reaksi negatif terhadap Ordonansi Sekolah Liar ini juga datang dari para penyelenggera pendidikan diluar gerakan Islam.
Reaksi umat Islan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu dapat dikelompokkan dalam dua corak : (1) defensif dan (2) progresif. Corak defensive ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam sistem pendidikan tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan pemerintah penjajah. Disamping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga mengembangkan kurikilum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif ini , pesantren pada kenyataannya memang bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan resiko harus terasing dari perkembangan masyarakat modern.
Corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijaksanaan diskriminatif. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai kesetereen dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum . Ketergantungan pada tekanan penjajah justru akan melemahkan posisi umat Islam sendiri. Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensive terus menerus, akan semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembega-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak tercerabut dari akar keagamaannya. Wujud konkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan berkembangnya sekolah Islam atau madrasah diberbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Terlepas dari kedua responsi diatas, umat Islam pada umumnya menolak segala bentuk ordonansi yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Umat Islam menyatakan keberatan terhadap ordonansi sehingga mereka membuat reaksi yang cukup keras. Dibawah pengawasan dan ordonansi yang ketat oleh pemerintah Hindia Belanda, madrasah mulai tumbuh. Terdapat beberapa madrasah yang memperoleh pengakuan pemerintah meskipun masih merupakan pengakuan yang setengah-setengah. Tetapi pada umumnya madrasah-madrasah itu berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa  dukungan dan legitimasi dari pemerintah. Kebutuhan sebagian rakyat untuk mengenyam pendidikan akhirmya terpenuhi melalui madrasah, sementera pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan dalam sekolah-sekolah yang didirikannya sebagai wujud dari kebijaksanaan diskriminatifnya.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kondisi Pendidikan Islam pada masa penjajahan cukup banyak mendapat tekanan dari pihak penjajah namun dengan semangat jiwa patriotisme dan semangat jihad di jalan Allah yang dimiliki oleh para pejuang Islam mampu melawan penjajah dengan berbagai cara termasuk penyelenggaraan pendidikan Islam sesuai dengan organisasi keagamaan yang telah dibentuk masing-masing tokoh pendidikan tersebut.
Latar belakang munculnya pendidikan Islam di Indonesia akibat adanya desakan penjajah untuk membatasi gerakan keagamaan dalam bidang pendidikan, di samping itu juga munculnya gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan dari tokoh Islam. Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan meunasah atau dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai pendidikan tertua di Indonesia. Sebelum masuknya penjajah Belanda, sistem pendidikan pribumi tersebut berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan agama Islam yang berlangsung secara damai, ramah, dan santun. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan bukti bagi  kesadaran masyarakat Indonesia akan sesuainyamodel pendidikan Islam dengan nurani masyarakat dan bangsa Indonesia saat itu. Kehidupan masyarakat terasa harmonis, selaras, dan tidak saling mendominasi. Hanya saja sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai.



DAFTAR PUSTAKA
http://anshori.blogspot.com/2009/04/pendidikan-Islam-zaman-penjajahan.html
http://lena-unindrabioza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-zamanpenjajahan.html
Khaeruddin. Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. CV. Berkah Utami,  2004.
Zuhairini, Dra, Dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.




[1] Zuhairini, ibid, h. 148. Bandingkan dengan Hanun Asrohah, op cit, h.150
[2] Ibdi hal 148-150
[3] Ibid
[4] http://anshori-pecintagadis.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html
[5] http://lena-unindrabioza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-zaman-enjajahan.html

[6] http://anshori.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html
[7] Khaeruddin. 2004. Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. CV. Berkah Utami

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISLAM DI INDONESIA PADA ZAMAN MODERN DAN KONTEMPORER

Napak Tilas Pondok Pesantren Lirboyo

MAKALAH PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN INTERAKTIF DALAM PEMBELAJARAN PAI